2016 - Tamaddun FAI

Tamaddun FAI

"IMM GERAKANKU, TAMADDUN JATI DIRIKU"

Sabtu, 22 Oktober 2016


Pertama kalinya hatiku bergetar
Pertama kalinya hatiku berlirik
Pertama kalinya hatiku berbisik
Semuanya menyuarakan sebuah perjuangan

Lamaku merenungkan
Lamaku berdiam diri
Bahkan inginku untuk berlari
tapi hatiku tetap berbisik “BERJUANGLAH”

Akhirnya hatiku mengalahkan keegoisanku
Hingga akhirnyaku menyimpulkan
Untuk tetap berjuang bersama “TAMADDUNKU”
Untuk membangun generasi yang bermental PERADABAN

IMM Gerakanku Tamaddu Jatidiriku!!


_By: TTM 
_Kader Tamaddun 2015

Jumat, 16 September 2016

Oleh : Yusuf Afrizal

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia seringkali identik dengan gerakan mahasiswa seperti yang telah tampak pada lembaran sejarah Nusantara. Mahasiswa ialah manusia yang berusia muda, yang telah berada dalam pendidikan tinggi. Sebagai manusia yang berjiwa muda, mahasiswa telah berperan penting dalam pergolakan dan pergerakan pada awal pendirian Indonesia. Hal demikian tak akan terjadi bila mahasiswa diam saja, terlebih lagi terganggu oleh kesenangan-kesenangan.

Tantangan mahasiswa saat ini tentu berbeda dengan tantangan tempo dulu. Indonesia telah merdeka dan mulai menuai kestabilan. Maka saat ini telah muncul tantangan baru. Tantangan kali ini mahasiswa dihadapkan pada musuh baru yang tak kasat mata. Ia disebut kesenangan.

Ketika kesenangan disebut sebagai penyebab utama (Causa Prima) permasalahan mahasiswa, saya sedikit tidak percaya. Bukankah kesenangan menjadi tujuan semua manusia. Bukankah kita mencari teman agar bisa tertawa bersama serta merasa senang bersama. Ternyata kesenangan yang dimaksud bukanlah demikian. Marilah kita bandingkan dengan empat tokoh terkemuka dari empat bangsa di dunia; Arab, China dan India serta Eropa.

Nabi Muhammad (570-632 M) figur utama Islam telah mengajarkan bahwa surga sebagai tempat penuh kenikmatan. Itu artinya, akan ada kenikmatan yang menanti kita kelak setelah kita semua melewati kehidupan dunia. Sehingga dunia hanya menjadi arena bagi kita untuk bersusah payah dalam mengumpulkan bekal sebanyak mungkin. Pengumpulan bekal ini pastinya sarat akan penderitaan. Beliau sebagai pejuang kebaikan pun diincar nyawanya. Sangat berat dalam berbuat baik. Namun, surga akan menunggu kita di ujung sana.

Konfucius (551-479 SM) teladan utama bangsa China telah mengajarkan bahwa manusia pada hakikatnya ialah perwujudan Tuhan Yang Masa Esa. Ketika Tuhan merupakan sumber segala kebaikan, maka kodrat awal manusia ialah baik secara fitrahnya. Manusia akan sulit mengenali hakikatnya karena tertutupi emosi, nafsu dan keserakahan, maka manusia haruslah dibimbing oleh etika. Ia pernah menjadi penasihat raja, namun mengundurkan diri dikarenakan sang raja tidak mau diperingatkan dan lebih suka berfoya-foya.

Siddhartha Gautama (623-543 SM) figur utama, guru spiritual dan pendiri gerakan pemberontakan atas kasta Brahmana, mengajarkan bahwa hidup itu sendiri ialah penderitaan. Manusia hendaknya menyadari bahwa peneritaan tersebut memiliki sumber. Adapun penderitaan mampu diakhiri dengan metode-metode yang telah diajarkannya.

Socrates (470-399 SM) kali ini adalah sosok paling penting dalam filsafat kuno, sosok paling bijaksana dan legendaris. Ia mengajarkan bahwa manusia, seperti benda-benda fisik yang telah terdefinisi, ialah memiliki tujuan dalam hidup, yakni kebaikan. Hasil filsafatnya telah menjadi paradigma manusia setelahnya bahwa manusia berpeluang memiliki pengetahuan yang bisa dijadikan pegangan bersama.

Nah, itulah pendapat para tokoh paling berpengruh di dunia. Jelas sekali mereka berpendapat bahwa manusia harus menjauh dari kesenangan duniawi dan material. Namun, apakah salah bila kita memiliki duniawi dan materi. Apakah salah bila kita memiliki motor, rumah dan ponsel. Mari kita bicara lebih jauh.

Lebih jauh kita akan beralih pada paham Hedonisme. Akan sangat sulit untuk mendefinisikan Hedonisme dalam ranah mahasiswa di awal ini. Namun kita akan berusaha menggapai pemahaman dengan mempelajari apa itu Hedonisme.

Hedonisme berakar pada kata hedone yang berarti kesenangan dalam bahasa Yunani. Paham ini berusaha menjelaskan realita manusia yang sejak kecil hingga dewasa selalu mencari segala hal yang memicu kesenangan. Dalam hal ini, anak yang membuat senang orantua bernilai kebaikan. Lalu, apa yang salah dengan Hedonisme?

Hedonisme berawal dari respon pemikiran mendasar filsuf Socrates, “apa yang menjadi akhir tujuan hidup manusia?”. Untuk dapat menyelesaikan pertanyaan tersebut haruslah menjawab, “apa yang terbaik bagi manusia?”. Socrates berpendapat bahwa yang terbaik ialah kebaikan. Namun, Aristippos (433-355 SM) menjawab bahwa yang terbaik adalah kesenangan.

Sehingga sejak saat itu, muncul anggapan bahwa yang baik ialah yang senang, nikmat dan enak. Sehingga terjadi penukaran makna kata. Baik ialah yang nikmat. Padahal, baik nabi Muhammad, Konfucius dan Siddhartha Gautama serta Socrates berusaha membangun pemahaman yang baik belum tentu nikmat atau senang.

Hedonisme ini kemudian melahirkan paham baru. Seperti Pragmatisme yang mencoba membangun pemahaman bahwa kebenaran tergantung pada penerapannya bagi manusia dan Utilitarianisme yang berpaham kebenaran yang benar ialah bergantung pada kegunaannya saja. Segala ajaran atau pengetahuan menjadi tidak ada yang baku, seperti yang coba diusahakan Socrates, namun berubah menjadi ajaran praktis dan diambil kegunaannya saja secara parsial. Segala hal, untuk menjadi hal yang terbaik haruslah memiliki nilai kenikmatan dan kegunaan. Bayangkan bila anda memiliki teman yang hanya menginginkan uang anda saja, tanpa peduli anda secara keseluruhan.

Hedonisme lebih lanjut menghapus ajaran nabi Muhammad tentang surga. Bahwa dunia inilah tempat untuk bersenang-senang. Kesenangan hanya terjadi di dunia. Hidup hanya sekali, tidak boleh terlewat kecuali dengan bersenang-senang.

Ajaran Konfucius kemudian gugur di hadapan Hedonisme. Seorang raja akan dibenarkan untuk bersenang-senang selama di tahta politik. Sedangkan Konfucius berpendapat, raja ialah suri tauladan bagi rakyatnya. Bila sang raja mabuk atau berzina, maka rakyat akan lebih parah lagi.

Barangkali Hedonisme ialah musuh utama Siddhartha Gautama. Awal kehidupannya ialah sebagai putra mahkota suatu kerajaan. Hidup dalam kerajaan telah membuatnya merana, maka ia mencoba untuk melihat ke luar kerajaan. Ia kemudian mendapati kondisi luar kerajaan yang sangat mengenaskan. Ia kemudian hidup sederhana dan meninggalkan kehidupan mewah kerajaan, anak maupun isteri. Bagi Siddhartha, kehidupan ialah penderitaan. Hal itu disebabkan karena hidup manusia haruslah bergantung pada materi. Seperti contoh; seseorang membeli ponsel untuk kesenangan, bagi Siddhartha memiliki materi justru menambah penderitaan. Orang mungkin memiliki ponsel, namun orang akan berpeluang kehilangan ponsel. Pada saat kehilangan itulah orang akan merasa sedih, di situlah penderitaan. Bagi Siddharta, orang tak akan pernah kehilangan (lalu bersedih/menderita) karena orang tak pernah memiliki. Lagi pula, Siddhartha juga menyadari bahwa memiliki materi akan melahirkan rasa gelisah karena takut meterinya akan hilang. Siddhartha juga menyadari bahwa manusia yang telah memiliki satu, ia menginginkan dua, ketika sudah dapat dua, ia menginginkan tiga dan seterusnya. Manusia akan terus berputar pada rasa gelisah (penderitaan) untuk mendapatkan lebih.

Maka dari sini kita telah dapat medefinisikan Hedonisme di kalangan mahasiswa. Hedonisme mahasiswa ialah segala hal yang bersifat duniawi dan material, yang dapat mengalihkan mahasiswa dari perjuangan. Mahasiswa yang hedonisme adalah mereka yang apatis terhadap perjuangan dan ilmu pengetahuan. Mereka yang tidak mengemban dengan baik amanah orangtua untuk menuntut ilmu pengetahuan namun menggantinya dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Bagi mereka yang demikian, tak akan mengerti arti perjuangan (baik perjuangan orangtua maupun perjuangan mahasiswa) dan ilmu pengetahuan bagi mereka akan diinjak-injak, bagi mereka buku-buku tidak beda jauh dengan keset[]

“Sesungguhnya, hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (penderitaan) dan pada sisi Allah kebaikan yang besar” [Q.S. at Taghabun: 15] 

Kamis, 15 September 2016

Oleh: Abdurrahman irham
Jurusan : EKONOMI SYARIAH

Penyebab bobroknya suatu sistem pemerintahan dapat diibaratkan dengan sebuah bola salju.  Yakni bola yang pada awalnya kecil, namun ketika menggelinding ia kian lama semakin besar.  Sesusai dengan kiasan ini, seorang atau sekelompok warga yang sedang berkuasa yang tidak bermoral baik di kemudian hari akan membentuk aparatur pemerintah dan anggota masyarakat yang lebih tidak bermoral, apalagi jika masyarakatnya masih cenderung paternalistik. Dan selanjutnya anggota-anggota masyarakat yang kian jahat itu mau tidak mau akan melahirkan masyarakat yang bertambah-tambah lagi jahatnya. Bahkan, warga yang semula baik bisa terdorong untuk melakukan kejahatan sebagai akibat korban sistem. Sistem yang sudah tertera dalam konstitusi negara justru banyak diselewengkan serta ditafsirkan semena-mena oleh penguasa untuk mempertahankan  kekuasaannya.  Demikian seterusnyasistem itu semakin bobrok, hingga membentuk semacam  lingkaran setan. Apabila hal seperti di atas yang terjadi, maka sudah tidak relevan lagi mempertanyakan mana yang menjadi penyebab dan yang mana yang menjadi akibat. Ibarat mempertanyakan mana yang lebih dahulu: ayamnya atau telurnya.  Sebab dalam hal ini yang menjadi penyebab telah menjadi akibat, dan yang akibat telah menjadi penyebab. Oleh karena itu, lebih relevan bila mempersoalkan: bagaimana memutuskan lingkaran setan yang menyelimuti sistem itu. Ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam memperbaiki suatu sistem pemerintahan yang bobrok. Pertama, masalah moralitas pemimpin. Kedua, ialah menyangkut perbaikan sistem itu sendiri, dengan mengembalikannya pada posisi ideal sesuai dengan cita-cita kita rakyat yang dipimpin.

Moralitas Pemimpin

Upaya pertama yang harus dilakukan adalah dengan menghentikan bola salju itu agar jangan terus bergulir semakin membesar. Bola salju itu harus dibiarkan mencair.  Artinya:  ketika tampuk kepemimpinan digantikan oleh seseorang atau sekelompok warga masyarakat yang berbudi pekerti yang baik, maka walaupun pada awalnya sebagian anggota masyarakatnya sudah terlanjur tidak baik, maka paling tidak dengan kekuasaan yang baru tersebut pihak-pihak yang berjiwa jahat tidak akan dibiarkan untuk mempraktekkan kejahatan mereka dengan leluasa. Demikian juga warga yang baik tidak akan terdorong untuk melakukan kejahatan dalam penerapan sistem, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Yang dimaksud para pemimpin di sini bukan lagi sekedar birokrat  yang pekerjaannya menjalankan suatu pemerintahan. Tetapi mencakup juga seluruh pejabat-pejabat negara yang menjalankan suatu sistem, baik sistem ketatanegaraan maupun sistem pemerintahan. Mereka itu adalah anggota DPR/MPR, anggota DPA, BPK, MA, Presiden dan wakil Presiden, Menteri-menteri, pejabat BUMN, para pejabat di daerah(camat, kepala desa), serta pejabat TNI. Sedangkan moralitas informal leader , misalnya tokoh-tokoh agama dan tua-tua adat,  biasanya tidak perlu diragukan lagi.  Justru peranan tokoh-tokoh informal ini  sangat diharapkan dalam mempelopori berbagai gerakan moral guna menghadapi segala penyimpangan pola kehidupan atau kejahatan.

Di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari sebagai pemimpin , para pejabat negara tidak hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat politis, teknis-struktural maupun teknis-yuridis, melainkan juga mempunyai implikasi moral. Mereka harus menghindari proses dehumanisasi dalam  praktekbirokrasi. Dengan demikian, diperlukan upaya yang konsisten dari para pemimpin baru, yang telah mengambil alih kepemimpinan yang korup.  Mereka harus mempunyai komitmen moral yang tinggi untuk terus-menerus mengusahakan perbaikan dan pembaharuan sistem, menanamkan kesadaran moral yang tinggi secara individual maupun kelompok kepada sebanyak mungkin orang.  Sehingga pola bola salju akan terjadi ke arah kebaikan, sehingga kebaikan itu semakin meluas di masyarakat. Sebagai pemimpin yang menentukan berfungsinya suatu sistem secara optimal dan benar maka ada empat rambu yang perlu  diperhatikan dan ditaati oleh para pejabat negara.  Pertama,  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya manusia senantiasa diberlakukan sebagaimana halnya hakekat manusia yang memiliki harkat dan keluhuran (dignity).  Keluhuran manusia pada setiap orang, baik yang kaya maupun yang miskin, harus dihormati. Kedua, memperlakukan setiap warganya secara adil, tanpa diskriminasi dan memberikan kepada masing-masing bagiannya. Ketiga, dalam mengeluarkan kebijakan para pejabat perlu memperhatikan kepatutan (equity) untuk mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Keempat, sikap jujur para pemimpin dalam membangun bangsa dan menjauhi perbuatan-perbuatan curang dalam  menjalankan roda pemerintahan. Ambruknya perekonomian yang dibangun oleh rezim Orde Baru banyak disebabkan oleh karena merosotnya kesadaran moral para pemimpin pemerintahan, yang ditandai dengan munculnya banyak praktek KKN dalam segala bidang, terutama dalam bidang pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.  Di era Orde Baru telah terjadi kesenjangan antara pemerintahan dan moralitas, dengan kata lain masalah moralitas terabaikan.

Untuk memberantas inilah harus dimulai dari atas.  Seperti diibaratkan oleh Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H, (Guru Besar Emeritus FH Unair) bahwa ikan membusuk  dimulai dari kepalanya, bukan dari ekornya.  Oleh karena itu, agar tidak membusuk ikan itu harus digarami mulai dari kepalanya terlebih dahulu, baru bagian badan dan ekornya.

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"



Rabu, 07 September 2016

Oleh : Mahfudz S

 “Semua ambisi itu sah, kecuali yang dicapai dengan menyengsarakan dan menginjak-injak kepercayaan orang lain (Joseph Conrad)

Surat ini kutulis dengan hati berbunga. Rasanya terlalu cepat kau menginjak dewasa. Tampak matang kau ketika bersibuk mempersiapkan diri, cari tempat tinggal baru. Waktu kadang seperti sebilah kilatan cahaya. Melesat meninggalkan ku bersama guratan kenangan. Ingatan ku padamu nak, tak bisa dihapus usia: semasa kecil kau sekolah TK. Ada rasa takut saat pertama ku antar kau kesana. Tapi guru TK itu memberi uluran senyum, menyapa seakan beri percaya. Hingga ku yakin kau berada di tangan pendidik yang selalu bahagia. Rekaman itu berulang-ulang ku saksikan diantara foto-foto TK mu yang lucu. Olehmu, aku kau buat lupa sulitnya membesarkanmu seorang diri.

Sejak SD kau sudah pintar menyebut nama. Ibu kota hingga lagu kebangsaan fasih kau lagukan. Di SMP hapalannya sampai menyebut apa itu tugas MK. Di SMU lebih hebat lagi: kau utarakan pendapat tentang keadaan. Hari itu ku lihat kau bukan lagi anak kecil yang takut pada kenyataan. Sesekali aku kuatir dan cemas jika kau nanti dapat nilai buruk. Tapi kenyataan telah paksa aku belajar bahwa hidup itu sandaranya adalah sabar dan kekuatannya ada di rasa percaya. Tak terasa kini kau sudah mahasiswa.

Aku, dan kuyakin juga almarhum ayahmu, seperti melepas sebuah kereta. Nama kereta itu adalah pengalaman dengan tujuan ke kota harapan.

Memang biayanya tak kecil nak. Aku berusaha apapun untuk mendapatkan tiket itu. Biarlah peluh keringat itu bercampur dengan darah asalkan kau bisa kuliah. Bagi ku kebanggaan itu tak ada harganya, dan pengetahuan itu tak ada kuitansinya. Tentu kalau boleh jujur biaya masuk itu berat untuk ku: tapi mana ada kampus yang biayanya murah, nak?!. Walau kadang aku bertanya dalam hati: mengapa biayanya sebesar itu dan untuk keperluan apa saja sebenarnya? Tapi aku bingung kemana akan menanyakan itu semua, apakah didengarkan, dan apakah akan ada jawabannya. Ah, lebih baik aku percaya saja bahwa kampus memang akan melahirkan orang pintar, karena itu harus dengan biaya besar.

Maka pesanku nak: Jangan engkau menjadi mahasiswa seadanya. Hanya menjalani kegiatan sekedarnya: kuliah, pulang dan bercanda. Kau istimewa bagi ku, maka jadikan hari-harimu istimewa disana. Hiruplah udara petualangan dengan belajar untuk jadi dewasa. Ciri seorang dewasa adalah berani, punya prinsip dan tak ragu mencoba. Kalau kau bertemu orang sedang susah, bantu dan belalah mereka. Kalau kau lihat ada kekejian maka lawanlah, dan hadapi takutmu. Sikap itu yang konon membuat mahasiswa dijuluki agen perubahan. Sikap itu yang membuat mahasiswa dianggap pendobrak kemapanan. Aku bangga kalau kau mampu tunaikan harapan itu nak. Harapan yang tak sampai aku tuju ketika harus membesarkanmu.
Karena itu nak, Jangan mudah putus asa. Buruknya nilai ujian tak buat masa depanmu lebih buruk. Sejak dulu nilai sebuah pendidikan tak digantungkan pada nilai pelajaran, nak. Hidup mengajariku bahwa sekolah itu bukan sekadar untuk meraih nilai setinggi-tingginya, melainkan menambang pengalaman sebanyak-banyaknya. Aku buktikan ketika berhasil mengantarmu ke perguruan tinggi: tanpa nilai tinggi, cukup keberanian dan harga diri.

Maka jika ada demonstrasi menentang kezaliman, jangan takut untuk terlibat. Tempa pengalaman, jawab keingintahuan, dan asah kepedulian dengan melawan tiap tindakan sewenang-wenang. Hiasi nama dan tanda tanganmu tak saja di kertas-kertas administrasi perkuliahan, melainkan lembar-lembar petisi kemanusiaan. Aku ingin kau tumbuh: menjadi penyayang dan pemberani. Jangan takut melawan tapi takutlah kamu pada sikap diam melihat penindasan.

Maka jika ada permasalahan, jangan lari dan sembunyi dalam galau. Hadapi dengan berani. Keberanian bukan hadiah kehidupan, ia adalah upah dari kerja melawan ketakutan. Tiap kau berjumpa persoalan kemanusiaan maka berusalah tegak di hadapanya. Jangan kamu jadi pengecut dan lari menjauh dari persoalan. Jangan kau jadi anak egois, tak peduli dan tak mau mengerti. Bahkan ketika kuliah mu terganggu dan kau terancam, aku akan lebih bangga karena kau telah jujur pada keadaan. Besar hatiku menyaksikan mu tumbuh dengan pengalaman berjuang melawan ketidak-adilan dan mau berkorban untuk kepentingan kemanusiaan. Aku tak hanya mengantarkan kau menjadi sarjana bertoga tapi ingin menjemputmu sebagai sarjana yang punya pengalaman membela. Banggaku bukan pada nilai terbaikmu melainkan pengalaman muda yang mengasah prinsip kemanusiaanmu.

Ku katakan ini semua bukan tanpa tujuan. Aku sungguh takut kau jadi seperti mereka yang kini ada di penjara. Para mahasiswa teladan yang hidupnya berhasil tapi berbuat nista. Seorang jaksa muda menerima suap dari kliennya, atau seorang ketua partai yang masih berusia muda terbukti mencuri uang negara. Dulunya mereka pintar dan punya prestasi sempurna. Malahan ada yang jadi dosen teladan dengan ringan menerima suap dari perusahaan yang harusnya diawasinya. Sakit hati orang tua melihat anaknya yang sarjana lalu berbuat nista pada sesamanya. Walau tak sedikit juga orang tua yang senang anak sarjananya membohongi dan memanfaatkan sesama demi menjadi kaya. Kita bukan dibesarkan dari keluarga demikian, nak. Tiap hari aku berdoa semoga kau di masa mendatang tidak terjerembab seperti mereka.

Karena itu nak jangan mudah terpesona tahta dan harta. Tahta itu posisi yang menyanjung kau sebagai orang penting. Ketika kau anggap dirimu harus diperlakukan istimewa, rindu untuk diberi sanjungan, dan merasa diri paling benar: itulah awal mula keculasan. Demikian pula harta yang memberi kau kemudahan untuk memiliki apapun. Tak ada dalam rencanaku ketika membesarkanmu untuk hanya jadi mahasiswa yang doyan belanja. Nilaimu bukan pada baju yang kau pakai, merk motor yang kau bawa atau jenis HP yang kau miliki. Nilai dirimu ada pada kesediaanmu untuk hidup ada adanya, berkorban untuk kepentingan yang melebihi kepentinganmu sendiri, dan mau membela siapa saja yang dilukai harkat kemanusiaanya. Ingat nak, nilai dirimu bukan diletakkan pada apa yang kau miliki tapi apa yang sanggup kau lakukan untuk dirimu sendiri, sesamamu, dan lingkunganmu!
Itu sebabnya nak pandai-pandailah menjaga diri. Jangan terlalu larut dengan kehidupan kampus yang memuja penampilan. Juga jangan terlalu cemas melihat keadaan sehingga kau kucilkan diri dan mengutuk semuanya. Terlibatlah dalam kehidupan sebagai anak muda optimis, kritis dan memberi pengaruh positif. Jika perlu ajaklah teman-temanmu untuk belajar tidak di kelas. Datangilah mereka yang dilanda kesusahan. Belalah mereka yang kini haknya sedang terancam. Sering-seringlah bergaul dengan orang pemberani. Dan mulailah membaca buku-buku yang memberi kau keyakinan tentang perubahan sosial.

Aku tak bisa selesaikan kuliahku karena kehadiranmu. Dan aku tak menyesal karena kau adalah pelajaran paling berharga dan bernilai yang pernah kudapatkan. Kau adalah toga kebahagiaan hidupku. Dalam usiamu yang baru menginjak 5 bulan di dalam perutku, aku sempat merindui masa-masa ketika aku jadi mahasiswa seperti mu. Tetapi Brecht dengan lantang menghardik pikiranku:

Disana kau duduk. Dan berapa banyak darah ditumpahkan

Hingga kau dapat duduk disana. Apa cerita semacam ini buat kau bosan?

Baiklah, jangan lupa ada orang lain duduk disitu sebelum kau

yang kemudian malah duduki orang lain. Angkat kepala mu!

Ilmu mu itu tak akan bernilai, kelak kau tau
Dan pelajaran itu akan mandul, kalau kau pikir menyenangkan

Kecuali kau ikrarkan kepandaianmu untuk berjuang
Melawan semua musuh-musuh kemanusiaan.

Jangan pernah lupa manusia seperti kau yang terluka

karena kau bisa duduk di sini sementara banyak yang lain tidak.

Dan sekarang jangan kau tutup matamu, dan jangan kabur

Tetapi belajarlah untuk mempelajari, dan cobalah mempelajari untuk apa kau belajar.”

Sekarang, aku tak lagi bisa menemanimu seperti pada masa TK dulu. Aku tak sanggup lagi menggenggam tanganmu untuk ku ajak melihat kegembiraan seperti waktu kecil dulu. Kini saatnya kau genggam tangan kawan-kawanmu, rakyat kebanyakan yang sedang mengalami kesulitan: buruh yang digaji kecil, petani yang disita tanahnya, pedagang kecil yang digusur lapaknya, nelayan yang susah hidupnya, perempuan yang jadi korban kekerasan di rumah dan di luar negeri, orang-orang yang entah kenapa tak boleh beribada dengan tenang atas keyakinannya. Ada aku diantara mereka, nak. Genggam tangan mereka dan berbagi kepercayaan bersama mereka. Sungguh bukan buku kuliah, ruang kuliah atau IP yang akan membesarkan harapanku: tapi jiwa mudamu yang mudah tersentuh dan peka pada penderitaan sesama.

Kelak aku bisa cerita pada yang lain kalau anakku bukan sekedar mahasiswa. Anakku belajar jadi dewasa di perguruan tinggi: punya sikap dan tak ragu berkorban untuk sesama. Anakku bukan duduk di kampus saja, tapi di belantara kehidupan rakyat yang kini mengalami derita. Bukunya bukan hanya diktat kuliah, tapi pengalaman memahami dan membela. Ajarannya tidak jadi hapalan dan dogma tapi perlawanan menentang ketidakadilan. Kelak ketika dekan atau rektor endak melantikmu jadi sarjana, biar orang-orang kecil dan miskinlah yang pindahkan tali toganya.

Aku hanya titip pesan padamu nak, jangan sesekali kamu diperhamba oleh aturan, dan jangan pula takluk oleh ancaman. Aku tak ingin kau jadi mahasiswa yang gampang menyerah pada keadaan. Dan pelajaran kuliahmu tak satupun akan ajari kau budi pekerti itu.

Kusudahi surat ini sambil menatap wajah kecilmu. Lucu, nekat dan penuh keberanian. Tak ada cita-cita yang terlalu besar kukorbankan demi bersarkan kau untuk tunaikan cita-citamu.

Tugasku hampir selesai. Sekarang ku lepas kau bukan pada guru yang penuh perhatian, tempat yang padat aturan, tapi kehidupan mahasiswa yang sarat petualangan. Tak sabar aku tunggu kabar petualangan darimu. Ku tunggu kisahmu tegakkan keadilan dan ku nanti beritamu tentang perubahan. Aku tak akan bertanya berapa nilai ujianmu atau kapan kau akan tamatkan kuliahmu. Sebab aku percaya ketika ku antarkan kau ke kampus, kau akan belajar berterima kasih atas kursi kuliahmu yang diatasnya ada darah dan perjuangan orang-orang yang pernah dan tak bisa mendudukinya. Disana kau akan mengerti apa itu nilai, yang peluhnya adalah pengorbanan dan cara meraihnya dengan keberanian. Ketika kau pahami itu, maka tugasku akan selesai.

Nak, tak perlu berterima kasih, tapi sampaikan rasa terima kasihmu pada rakyat kecil yang akan memberimu pelajaran tentang kebenaran dan perjuangan. Juga minta perlindungan dari Nya sehingga kau diberi kekuatan Iman, Harapan dan Keteguhan. Tuhan akan selalu menyertai siapa saja anak muda yang teguh memegang kebenaran dan berani memperjuangkannya.
  
Selamat berjuang nak, doaku selalu meyertai hari-harimu.

Aku,
 Ibu yang selalu mencintai dan menyayangimu, selamanya.

Oleh : Imm. Abdurrahman Irham

Pergolakan pemikiran telah menghinggapi alam pikiran mahasiswa atau biasa disebut kaum intelegensia. Hal ini menjadi semacam stimulus terbentuknya paradigma terpola untuk merekayasa tangga kesuksesan. Pergolakan itu dimulai dengan cara menerawang masa depan (forecasting), membulatkan tekad (dedication) dan meneguhkan pendirian (loyality). Demikian itu, bahwa dengan menuntut ilmu atau katakanlah kuliah merupakan tahap yang mesti dilewati oleh seorang mahasiswa.
Mengingat hegemoni modernisme telah menjadi tantangan yang perlu dihadapi setiap mahasiswa. Lalu modernisme perlu diiringi dengan penguatan intelektual agar tidak tergilas dimakan zaman. Seorang filsuf Rene Descartes mengatakan, “Aku berpikir, maka aku ada”. Sehingga dengan berpikir, maka seseorang akan dikatakan ada dalam mewarnai kehidupannya.
Bagi kaum intelektual, bukan zamannya lagi untuk berpangku tangan untuk menghayalkan masa depan. Tapi, mulai menata ke depan, bahwa akan melakukan yang terbaik bagi agama dan bangsa Indonesia tercinta. Kemudian menggali potensi masing-masing dengan penuh perjuangan demi menggagas peradaban yang baru.
Dalam kerangka aktivisme, mahasiswa kerap dijuluk sebagai agent lokomotif, agent of change dalam pranata sosial. Hal itu tentu menjadi tanggung jawab besar dalam masyarakat dan bangsa. Setidaknya ada hal bermakna yang dapat dilakukan bagi lingkungan dimana ia berada.
Di waktu yang sama, kita menyaksikan presentasi situasi dimana nampak terjadi pergeseran nilai dan budaya, seperti sopan santun yang mulai tergerus berganti dengan premanisme, ramah tamah berganti vandalisme dan liberalisme yang kian menghinggapi masyarakat pada umumnya. Disinilah peran mahasiswa dituntut melakukan aksi nyata demi mempertahankan budaya yang telah diwariskan oleh pendahulu bangsa ini.
Perubahan sosial, menurut penulis, terjadi dikarenakan semakin massifnya teknologi dan arus informasi menancapkan cengkramannya. Sebagai contoh, handphone yang dulu hanya sebatas alat komunikasi semata. Kini, ia berubah menjadi alat informasi yang bisa merubah keadaan sosial masyarakat.
Mahasiswa yang sadar akan diri dan posisinya, tidak akan diam melihat kondisi akibat dari arus informasi tersebut. Dengan kesadaran intelektual ideologis, mahasiswa sebagai kaum terdidik harus melakukan aksi nyata dalam menyadarkan masyarakat dan khususnya pada  diri sendiri, bahwa ia tidak boleh terpedaya oleh teknologi.
Dapat dikatakan bahwa kalangan pelajar atau mahasiswa, merupakan kelompok tingkat sosial yang sangat rentan dipengaruhi oleh pesatnya arus teknologi. Ia kemudian memicu terjadinya pemerkosaan, pergalauan yang diluar batas manusiawi, kemorosotan moral, budaya komsumtif, pesimisme dan hedonisme. Tentu saja keadaan yang jelas sangat mengkhawatirkan itu menjadi tantangan bagi mahasiswa yang hidup di zaman modern. Sehingga, sebuah kebodohan dan hipokritas yang sangat nyata apabila ada mahasiswa yang hanya terus sibuk beraktifitas di dalam ruang bertembok tanpa mau peduli dengan lingkungannya sebagai bentuk apresiasi terhadap interaksi sosialnya.
Melihat kenyataan tersebut, perlu ada kegiatan yang mengarah pada hal yang positif. Misalnya saja, membentuk sebuah lembaga sosial untuk menggali potensi mahasiswa, membuat sebuah forum kajian keagamaan untuk memperkokoh pondasi keagamaan dan mengajak untuk menghasilkan karya demi tegaknya peradaban baru.  Bukan hanya sekedar kuliah pulang(mahasiswa kupu-kupu), jalan bersama pacar, tiap bulan minta gaji pada orang tua dll. Hal seperti harus dihindari oleh kita sebagai mahasiswa.
Sebab, harus diingat, bahwa menyandang status mahasiswa, bukan hal yang mudah untuk diemban. Karena perlu ada aktualisasi dalam bentuk nyata untuk mewarnai kehidupan. Sehingga akan lebih bermakna kehidupan ini, bilamana ia bisa bermanfaat di antara kita dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan pencipta-Nya. Khairunnas amfakhum linnas( sebaik baik manusia adalah yang bisa bermanfaat buat manusia yang lainnya).
Karenanya, Sang Proklamator Soekarno mengatakan, “Berikan Aku sepuluh pemuda, maka aku akan guncangka dunia”. Artinya, segolongan pemuda atau mahasiswa yang potensial dan berdedikasi, akan mampu menaklukkan dunia dengan pemikiran dan penanya. Kemudian mengambil peran sesuai dengan keahlian yang bisa disumbangkan kepada bangsa. Dengan kata lain apabila kita sebagai mahasiswi ingin mewujudkan apa yang dimaksud oleh bapak soekarno hatta tentunya kita harus memperkuat intelektual, humanisme, dan religius kita sebagai mahasiswa yang kemudian nanti bisa diaplikasikan pada masyarakat yang ada.
Dalami pandangan Antonio Gramsci, sebagai kaum intelektual organik, mahasiwa perlu mengaplikasikan semua potensi yang dimiliki. Kemudian mengeluarkan sebuah karya positif demi terciptanya sebuah peradaban baru, yakni peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, humanisme dan religiusitas.

Dengan demikian, kita berharap perubahan sosial menuju tampilnya Indonesia wsebagai bangsa yang mandiri, bangsa yang berdiri di kaki sendiri, akan benar-benar terwujud.Oleh karena itu mulai dari sekarang kita harus memahami peranan kita sebagai mahasiswa, yang menyandang tugas berat sebagai agent lokomotif, agent of change pada lingkungan sekitar kita. Semoga nama MAHASISWA yang kita emban sekarang bisa membawa perubahan yang jelas terhadap lingkungan sekitar kita khususnya buat bangsa yang besar ini. Amin

Rabu, 06 Januari 2016


Oleh : Arinal Aziz

Ini pertanyaan yang susah sekali saya jawab ketika harus membujuk satu-dua kader yang merasa ‘kapok’ di IMM. Sebagai instruktur yang tak pernah ikut LID,  tentu saya memiliki tanggung jawab moral dalam hal ini. Selain itu, beberapa ‘eksodus’ kader IMM juga banyak yang mengajak saya diskusi tentang IMM yang menurutnya tak sesuai dengan apa yang diceritakan senior-seniornya. Katanya, antara teori (teks) dan realita sangat jauh berbeda.

Pernah suatu ketika, saya berbincang dengan salah satu kader dengan suasana ‘patah hati’ dia bercerita banyak hal. Mulai dari harapan besarnya masuk IMM dan realita empirik yang ia temui. “Kok begini, mbak?” keluhnya kala itu. Ia merasa kecewa dengan sikap seniornya yang awalnya melarang ini melarang itu, akan tetapi si senior tersebut justru melakukannya. Saya tidak bisa menuliskan permasalahan yang dimaksud dalam tulisan ini, demi etika.

Jujur. Hal yang sama juga pernah saya rasakan ketika masuk IMM dulu. Tetapi saya jadi teringat pesan Buya Syafii Maarif yang pernah ditulis dalam sebuah artikel, saya lupa di koran mana, tapi beginilah pesannya. “Lihatlah Islam dari sumber, bukan dari perilaku umatnya. Jika kita menilai Islam berdasarkan perilaku umatnya, maka banyak hal yang mengecewakan. Misalkan saja, Islam menyuruh umatnya untuk bersatu, ukhuwah, tetapi konflik antar golongan tak pernah berkesudahan. Islam mengajak umatnya hidup sederhana, tetapi banyak juga para muslim yang hidup bermewah-mewah.”

Saya mengambil sebuah korelasi terhadap IMM. “Lihatlah IMM dari sumbernya, bukan dari perilaku kader/pengurusnya.” IMM boleh-boleh saja mengajarkan tri kompentensi dasar ; Intelektualitas, Religiusitas, Humanitas. Tapi banyak juga kader/pengurus IMM yang malas membaca buku, malas berdiskusi, kalau adzan berkumandang tak lekas ke masjid untuk shalat, masih apatis terhadap isu sosial yang berkembang terutama di kampusnya.

Selama ini, ia melihat IMM dari perilaku kader/pengurus, terutama yang lebih senior darinya. Ia menilai bahwa segala hal yang melekat terhadap kader, juga akan melekat dengan IMM. Misalkan ada satu kader IMM tak menjalankan shalat wajib, maka segera berkembang isu : IMM nggak shalat. Hal itu sama dengan perilaku segelintir umat Islam yang suka bertikai. Ketika orang non muslim melihat ada kelompok islam yang gemar melakukan kekerasan. Dengan lekas ia menjustice, Islam itu agama kekerasan.

Hal inilah yang kadang membuat kita resah. Timbul dua pertanyaan besar dalam hal ini. Pertama, bagaimana pola perkaderan di IMM selama ini, sehingga masih ada kader yang berlaku diluar teks atau garis haluan ikatan. Kedua, apakah kemudian kita harus membenarkan perilaku tersebut? Saya pun dilema menjawabnya.

Namun sejak dulu saya sudah belajar untuk menilai diri sendiri. Barangkali, ada kader yang kecewa dengan sikap saya ketika menjadi pengurus atau seniornya. Dan itu berimbas pada penilaiannya terhadap IMM. Misalkan saja ketika saya memutuskan untuk resign dari kepengurusan PK Tamaddun seminggu lalu. ada salah seorang kader protes begini : seharusnya kader IMM itu berlaku amanah dan tidak meninggalkan temannya yang berjuang untuk membesarkan ikatan.

Lalu saya menjawab : saya tidak keluar dari IMM, tetapi saya hanya keluar dari struktur. Sampai kapanpun saya tetap kader IMM dan sebisa mungkin menjalankan program kerja di komisariat Tamaddun maupun cabang Blitar  yang sudah saya gagas. Namun jawaban tersebut ternyata tak cukup. Dia kecewa berat dengan saya. Biar saja, Kadang tak cukup kata untuk menjelaskan, karena saya yakin waktu lah yang akan menjawabnya.

Maka saya mengambil kesimpulan. Satu sikap yang kita anggap biasa, rasional dan realistis. Kadang dimaknai lain oleh kader baru. Misalkan saja, ketika ada senior yang pacaran dan hubungan mereka berdua sangat terbuka, ada salah seorang kader yang bertanya ke saya : kok kakak itu pacaran ya? Kan tak etis sebagai senior IMM. Tentu saya kaget. Karena selama ini, hal seperti itu biasa-biasa saja. Saya pun juga tak terlalu mempermasalahkan, karena setahu saya, pacaran mereka masih wajar-wajar saja, tak sampai ekstrim.

Namun ternyata ada penilaian lain dan itu lumayan mengusik pikiran, terutama kader baru yang bertanya tadi. Saya yakin, pemikiran yang sama, dengan permasalahan yang berbeda, juga pernah dialami banyak kader baru. Sehingga mereka tak lagi aktif di IMM bisa karena dua hal ; karena tak punya keseriusan di IMM, atau karena terlalu menaruh harapan besar di IMM dan harapan itu kandas karena realita yang ia temukan di dalamnya.

Sampai saat ini, saya masih kelimpungan kalau ada pertanyaan seperti itu. Sembari mengukur diri dengan bayang-bayang. IMM memang  antara teks (teori) yang mereka dapatkan di DAD dan realita yang mereka temui ketika aktif menjadi kader, tetapi yang perlu diingat, kita selalu berupaya untuk meraih idealitas itu. idealitas sebagai organisasi islam dan idealitas sebagai kader IMM yang sesungguhnya. Apalagi, kerja di IMM adalah kerja komunal, kolektif kolegial.

Ibarat kita memilih pasangan hidup, ketika hendak menikah, kita percaya dia yang paling sempurna dan ideal sesuai kriteria kita. Tetapi ketika suatu waktu ada hal-hal lain yang membuat kita kecewa, akankah memutuskan hubungan begitu saja. Menceraikan begitu saja? Tentu tak semudah itu.

Segala hal memang butuh pertimbangan, termasuk ketika kita harus belajar menghadapi realita yang jauh dari harapan. Sembari meluruskan yang bisa diluruskan, dan membenarkan yang bisa dibenarkan. Tanpa sedikitpun merasa paling benar.

Identitas Penulis:
Nama              : Arinal Aziz
Jurusan            : Tarbiyah / 2013