HEDONISME DAN MAHASISWA - Tamaddun FAI

Tamaddun FAI

"IMM GERAKANKU, TAMADDUN JATI DIRIKU"

Jumat, 16 September 2016

HEDONISME DAN MAHASISWA

Oleh : Yusuf Afrizal

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia seringkali identik dengan gerakan mahasiswa seperti yang telah tampak pada lembaran sejarah Nusantara. Mahasiswa ialah manusia yang berusia muda, yang telah berada dalam pendidikan tinggi. Sebagai manusia yang berjiwa muda, mahasiswa telah berperan penting dalam pergolakan dan pergerakan pada awal pendirian Indonesia. Hal demikian tak akan terjadi bila mahasiswa diam saja, terlebih lagi terganggu oleh kesenangan-kesenangan.

Tantangan mahasiswa saat ini tentu berbeda dengan tantangan tempo dulu. Indonesia telah merdeka dan mulai menuai kestabilan. Maka saat ini telah muncul tantangan baru. Tantangan kali ini mahasiswa dihadapkan pada musuh baru yang tak kasat mata. Ia disebut kesenangan.

Ketika kesenangan disebut sebagai penyebab utama (Causa Prima) permasalahan mahasiswa, saya sedikit tidak percaya. Bukankah kesenangan menjadi tujuan semua manusia. Bukankah kita mencari teman agar bisa tertawa bersama serta merasa senang bersama. Ternyata kesenangan yang dimaksud bukanlah demikian. Marilah kita bandingkan dengan empat tokoh terkemuka dari empat bangsa di dunia; Arab, China dan India serta Eropa.

Nabi Muhammad (570-632 M) figur utama Islam telah mengajarkan bahwa surga sebagai tempat penuh kenikmatan. Itu artinya, akan ada kenikmatan yang menanti kita kelak setelah kita semua melewati kehidupan dunia. Sehingga dunia hanya menjadi arena bagi kita untuk bersusah payah dalam mengumpulkan bekal sebanyak mungkin. Pengumpulan bekal ini pastinya sarat akan penderitaan. Beliau sebagai pejuang kebaikan pun diincar nyawanya. Sangat berat dalam berbuat baik. Namun, surga akan menunggu kita di ujung sana.

Konfucius (551-479 SM) teladan utama bangsa China telah mengajarkan bahwa manusia pada hakikatnya ialah perwujudan Tuhan Yang Masa Esa. Ketika Tuhan merupakan sumber segala kebaikan, maka kodrat awal manusia ialah baik secara fitrahnya. Manusia akan sulit mengenali hakikatnya karena tertutupi emosi, nafsu dan keserakahan, maka manusia haruslah dibimbing oleh etika. Ia pernah menjadi penasihat raja, namun mengundurkan diri dikarenakan sang raja tidak mau diperingatkan dan lebih suka berfoya-foya.

Siddhartha Gautama (623-543 SM) figur utama, guru spiritual dan pendiri gerakan pemberontakan atas kasta Brahmana, mengajarkan bahwa hidup itu sendiri ialah penderitaan. Manusia hendaknya menyadari bahwa peneritaan tersebut memiliki sumber. Adapun penderitaan mampu diakhiri dengan metode-metode yang telah diajarkannya.

Socrates (470-399 SM) kali ini adalah sosok paling penting dalam filsafat kuno, sosok paling bijaksana dan legendaris. Ia mengajarkan bahwa manusia, seperti benda-benda fisik yang telah terdefinisi, ialah memiliki tujuan dalam hidup, yakni kebaikan. Hasil filsafatnya telah menjadi paradigma manusia setelahnya bahwa manusia berpeluang memiliki pengetahuan yang bisa dijadikan pegangan bersama.

Nah, itulah pendapat para tokoh paling berpengruh di dunia. Jelas sekali mereka berpendapat bahwa manusia harus menjauh dari kesenangan duniawi dan material. Namun, apakah salah bila kita memiliki duniawi dan materi. Apakah salah bila kita memiliki motor, rumah dan ponsel. Mari kita bicara lebih jauh.

Lebih jauh kita akan beralih pada paham Hedonisme. Akan sangat sulit untuk mendefinisikan Hedonisme dalam ranah mahasiswa di awal ini. Namun kita akan berusaha menggapai pemahaman dengan mempelajari apa itu Hedonisme.

Hedonisme berakar pada kata hedone yang berarti kesenangan dalam bahasa Yunani. Paham ini berusaha menjelaskan realita manusia yang sejak kecil hingga dewasa selalu mencari segala hal yang memicu kesenangan. Dalam hal ini, anak yang membuat senang orantua bernilai kebaikan. Lalu, apa yang salah dengan Hedonisme?

Hedonisme berawal dari respon pemikiran mendasar filsuf Socrates, “apa yang menjadi akhir tujuan hidup manusia?”. Untuk dapat menyelesaikan pertanyaan tersebut haruslah menjawab, “apa yang terbaik bagi manusia?”. Socrates berpendapat bahwa yang terbaik ialah kebaikan. Namun, Aristippos (433-355 SM) menjawab bahwa yang terbaik adalah kesenangan.

Sehingga sejak saat itu, muncul anggapan bahwa yang baik ialah yang senang, nikmat dan enak. Sehingga terjadi penukaran makna kata. Baik ialah yang nikmat. Padahal, baik nabi Muhammad, Konfucius dan Siddhartha Gautama serta Socrates berusaha membangun pemahaman yang baik belum tentu nikmat atau senang.

Hedonisme ini kemudian melahirkan paham baru. Seperti Pragmatisme yang mencoba membangun pemahaman bahwa kebenaran tergantung pada penerapannya bagi manusia dan Utilitarianisme yang berpaham kebenaran yang benar ialah bergantung pada kegunaannya saja. Segala ajaran atau pengetahuan menjadi tidak ada yang baku, seperti yang coba diusahakan Socrates, namun berubah menjadi ajaran praktis dan diambil kegunaannya saja secara parsial. Segala hal, untuk menjadi hal yang terbaik haruslah memiliki nilai kenikmatan dan kegunaan. Bayangkan bila anda memiliki teman yang hanya menginginkan uang anda saja, tanpa peduli anda secara keseluruhan.

Hedonisme lebih lanjut menghapus ajaran nabi Muhammad tentang surga. Bahwa dunia inilah tempat untuk bersenang-senang. Kesenangan hanya terjadi di dunia. Hidup hanya sekali, tidak boleh terlewat kecuali dengan bersenang-senang.

Ajaran Konfucius kemudian gugur di hadapan Hedonisme. Seorang raja akan dibenarkan untuk bersenang-senang selama di tahta politik. Sedangkan Konfucius berpendapat, raja ialah suri tauladan bagi rakyatnya. Bila sang raja mabuk atau berzina, maka rakyat akan lebih parah lagi.

Barangkali Hedonisme ialah musuh utama Siddhartha Gautama. Awal kehidupannya ialah sebagai putra mahkota suatu kerajaan. Hidup dalam kerajaan telah membuatnya merana, maka ia mencoba untuk melihat ke luar kerajaan. Ia kemudian mendapati kondisi luar kerajaan yang sangat mengenaskan. Ia kemudian hidup sederhana dan meninggalkan kehidupan mewah kerajaan, anak maupun isteri. Bagi Siddhartha, kehidupan ialah penderitaan. Hal itu disebabkan karena hidup manusia haruslah bergantung pada materi. Seperti contoh; seseorang membeli ponsel untuk kesenangan, bagi Siddhartha memiliki materi justru menambah penderitaan. Orang mungkin memiliki ponsel, namun orang akan berpeluang kehilangan ponsel. Pada saat kehilangan itulah orang akan merasa sedih, di situlah penderitaan. Bagi Siddharta, orang tak akan pernah kehilangan (lalu bersedih/menderita) karena orang tak pernah memiliki. Lagi pula, Siddhartha juga menyadari bahwa memiliki materi akan melahirkan rasa gelisah karena takut meterinya akan hilang. Siddhartha juga menyadari bahwa manusia yang telah memiliki satu, ia menginginkan dua, ketika sudah dapat dua, ia menginginkan tiga dan seterusnya. Manusia akan terus berputar pada rasa gelisah (penderitaan) untuk mendapatkan lebih.

Maka dari sini kita telah dapat medefinisikan Hedonisme di kalangan mahasiswa. Hedonisme mahasiswa ialah segala hal yang bersifat duniawi dan material, yang dapat mengalihkan mahasiswa dari perjuangan. Mahasiswa yang hedonisme adalah mereka yang apatis terhadap perjuangan dan ilmu pengetahuan. Mereka yang tidak mengemban dengan baik amanah orangtua untuk menuntut ilmu pengetahuan namun menggantinya dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Bagi mereka yang demikian, tak akan mengerti arti perjuangan (baik perjuangan orangtua maupun perjuangan mahasiswa) dan ilmu pengetahuan bagi mereka akan diinjak-injak, bagi mereka buku-buku tidak beda jauh dengan keset[]

“Sesungguhnya, hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (penderitaan) dan pada sisi Allah kebaikan yang besar” [Q.S. at Taghabun: 15] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar