SISTEM DAN MORALITAS PEMIMPIN - Tamaddun FAI

Tamaddun FAI

"IMM GERAKANKU, TAMADDUN JATI DIRIKU"

Kamis, 15 September 2016

SISTEM DAN MORALITAS PEMIMPIN

Oleh: Abdurrahman irham
Jurusan : EKONOMI SYARIAH

Penyebab bobroknya suatu sistem pemerintahan dapat diibaratkan dengan sebuah bola salju.  Yakni bola yang pada awalnya kecil, namun ketika menggelinding ia kian lama semakin besar.  Sesusai dengan kiasan ini, seorang atau sekelompok warga yang sedang berkuasa yang tidak bermoral baik di kemudian hari akan membentuk aparatur pemerintah dan anggota masyarakat yang lebih tidak bermoral, apalagi jika masyarakatnya masih cenderung paternalistik. Dan selanjutnya anggota-anggota masyarakat yang kian jahat itu mau tidak mau akan melahirkan masyarakat yang bertambah-tambah lagi jahatnya. Bahkan, warga yang semula baik bisa terdorong untuk melakukan kejahatan sebagai akibat korban sistem. Sistem yang sudah tertera dalam konstitusi negara justru banyak diselewengkan serta ditafsirkan semena-mena oleh penguasa untuk mempertahankan  kekuasaannya.  Demikian seterusnyasistem itu semakin bobrok, hingga membentuk semacam  lingkaran setan. Apabila hal seperti di atas yang terjadi, maka sudah tidak relevan lagi mempertanyakan mana yang menjadi penyebab dan yang mana yang menjadi akibat. Ibarat mempertanyakan mana yang lebih dahulu: ayamnya atau telurnya.  Sebab dalam hal ini yang menjadi penyebab telah menjadi akibat, dan yang akibat telah menjadi penyebab. Oleh karena itu, lebih relevan bila mempersoalkan: bagaimana memutuskan lingkaran setan yang menyelimuti sistem itu. Ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam memperbaiki suatu sistem pemerintahan yang bobrok. Pertama, masalah moralitas pemimpin. Kedua, ialah menyangkut perbaikan sistem itu sendiri, dengan mengembalikannya pada posisi ideal sesuai dengan cita-cita kita rakyat yang dipimpin.

Moralitas Pemimpin

Upaya pertama yang harus dilakukan adalah dengan menghentikan bola salju itu agar jangan terus bergulir semakin membesar. Bola salju itu harus dibiarkan mencair.  Artinya:  ketika tampuk kepemimpinan digantikan oleh seseorang atau sekelompok warga masyarakat yang berbudi pekerti yang baik, maka walaupun pada awalnya sebagian anggota masyarakatnya sudah terlanjur tidak baik, maka paling tidak dengan kekuasaan yang baru tersebut pihak-pihak yang berjiwa jahat tidak akan dibiarkan untuk mempraktekkan kejahatan mereka dengan leluasa. Demikian juga warga yang baik tidak akan terdorong untuk melakukan kejahatan dalam penerapan sistem, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Yang dimaksud para pemimpin di sini bukan lagi sekedar birokrat  yang pekerjaannya menjalankan suatu pemerintahan. Tetapi mencakup juga seluruh pejabat-pejabat negara yang menjalankan suatu sistem, baik sistem ketatanegaraan maupun sistem pemerintahan. Mereka itu adalah anggota DPR/MPR, anggota DPA, BPK, MA, Presiden dan wakil Presiden, Menteri-menteri, pejabat BUMN, para pejabat di daerah(camat, kepala desa), serta pejabat TNI. Sedangkan moralitas informal leader , misalnya tokoh-tokoh agama dan tua-tua adat,  biasanya tidak perlu diragukan lagi.  Justru peranan tokoh-tokoh informal ini  sangat diharapkan dalam mempelopori berbagai gerakan moral guna menghadapi segala penyimpangan pola kehidupan atau kejahatan.

Di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari sebagai pemimpin , para pejabat negara tidak hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat politis, teknis-struktural maupun teknis-yuridis, melainkan juga mempunyai implikasi moral. Mereka harus menghindari proses dehumanisasi dalam  praktekbirokrasi. Dengan demikian, diperlukan upaya yang konsisten dari para pemimpin baru, yang telah mengambil alih kepemimpinan yang korup.  Mereka harus mempunyai komitmen moral yang tinggi untuk terus-menerus mengusahakan perbaikan dan pembaharuan sistem, menanamkan kesadaran moral yang tinggi secara individual maupun kelompok kepada sebanyak mungkin orang.  Sehingga pola bola salju akan terjadi ke arah kebaikan, sehingga kebaikan itu semakin meluas di masyarakat. Sebagai pemimpin yang menentukan berfungsinya suatu sistem secara optimal dan benar maka ada empat rambu yang perlu  diperhatikan dan ditaati oleh para pejabat negara.  Pertama,  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya manusia senantiasa diberlakukan sebagaimana halnya hakekat manusia yang memiliki harkat dan keluhuran (dignity).  Keluhuran manusia pada setiap orang, baik yang kaya maupun yang miskin, harus dihormati. Kedua, memperlakukan setiap warganya secara adil, tanpa diskriminasi dan memberikan kepada masing-masing bagiannya. Ketiga, dalam mengeluarkan kebijakan para pejabat perlu memperhatikan kepatutan (equity) untuk mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Keempat, sikap jujur para pemimpin dalam membangun bangsa dan menjauhi perbuatan-perbuatan curang dalam  menjalankan roda pemerintahan. Ambruknya perekonomian yang dibangun oleh rezim Orde Baru banyak disebabkan oleh karena merosotnya kesadaran moral para pemimpin pemerintahan, yang ditandai dengan munculnya banyak praktek KKN dalam segala bidang, terutama dalam bidang pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.  Di era Orde Baru telah terjadi kesenjangan antara pemerintahan dan moralitas, dengan kata lain masalah moralitas terabaikan.

Untuk memberantas inilah harus dimulai dari atas.  Seperti diibaratkan oleh Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H, (Guru Besar Emeritus FH Unair) bahwa ikan membusuk  dimulai dari kepalanya, bukan dari ekornya.  Oleh karena itu, agar tidak membusuk ikan itu harus digarami mulai dari kepalanya terlebih dahulu, baru bagian badan dan ekornya.

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar